Kalau kamu nongkrong di kafe tempat banyak anak WFA di Jakarta atau scroll timeline Twitter (X), obrolan soal Artificial General Intelligence (AGI) makin sering mampir. Ada yang takut dunia direbut robot, ada yang excited bayangin asisten pribadi secerdas manusia, ada juga yang nyinyir “ah itu cuma marketing Big Tech”.
Tapi satu hal jelas: istilah AGI nggak lagi sebatas jargon konferensi. Investor, pemerintah, sampai komunitas kripto mulai melihatnya sebagai taruhan besar abad ini.
Buat pembaca Indonesia, mungkin AGI masih terasa jauh. Tapi ingat, dulu istilah “blockchain” atau “crypto” juga pernah terdengar asing banget sebelum akhirnya jadi topik nasional di 2017. Sekarang, AI dan blockchain lagi ketemu di simpang jalan yang bisa menentukan siapa yang punya kendali atas ekonomi digital di masa depan: Big Tech, negara, atau sistem terbuka yang lebih inklusif.
Spektrum Kecerdasan: Dari ANI ke ASI
Biar nyambung, kita perlu bedakan dulu spektrum kecerdasan buatan:
- ANI (Artificial Narrow Intelligence)
Ini AI yang kita pakai sehari-hari: rekomendasi Tokopedia, Google Maps, ChatGPT. Pintar di satu hal, tapi bego kalau dilempar ke tugas lain. - AGI (Artificial General Intelligence)
Bayangkan AI yang bisa belajar dan mengerjakan hampir semua tugas intelektual kayak manusia: menulis, bernegosiasi, coding, bahkan bikin strategi bisnis. Bukan cuma meniru jawaban, tapi bisa generalisasi lintas domain. - ASI (Artificial Superintelligence)
Level ini sering masuk fiksi ilmiah: kecerdasan ribuan kali lebih hebat dari otak manusia paling pintar. Kalau AGI adalah “manusia digital”, ASI bisa jadi “spesies baru” dengan kemampuan berpikir di luar imajinasi kita.
Nah, diskusi industri kripto kebanyakan fokus ke AGI yang fungsional. Nggak ribet soal “AI punya kesadaran atau nggak”. Yang penting: AI bisa jalan, bisa diverifikasi, dan bisa ikut main di ekonomi digital. Filosofinya praktis: bikin sistem yang bisa kerja, bukan debat filsafat.
Baca juga: AI rollup, tren baru investasi AI investor besar dunia.
Timeline AGI: Dari Survei Akademik ke Prediksi Gila
![]()
Pertanyaan besar: kapan AGI bakal datang?
- Versi akademis:
Survei ESPAI 2023 (1.700+ peneliti AI) menaruh median probabilitas 50% AGI di tahun 2047, lebih cepat 13 tahun dibanding survei sebelumnya (arXiv). - Versi industri:
Pemimpin lab AI besar lebih agresif.- Sam Altman (OpenAI): “AGI bisa muncul dalam dekade ini.”
- Demis Hassabis (Google DeepMind): prediksi <10 tahun.
- Jensen Huang (Nvidia): AI setara manusia di tes apa pun pada 2029.
- Elon Musk: lebih pintar dari manusia tahun 2026.
- Komunitas peramal:
Metaculus, platform prediksi kolektif, drastis memangkas timeline. Dari 2070 (tahun 2020) → sekarang median 50% di 2031 (Metaculus AGI Forecast).
Superforecaster Samotsvety kasih peluang 28% AGI muncul sebelum 2030.
Artinya apa? Narasi “AGI masih 50 tahun lagi” sudah basi. Lonjakan LLM sejak 2022 bikin asumsi lama hancur. Kalau tren ini lanjut, AGI bisa datang lebih cepat dari kesiapan sosial, hukum, atau politik kita.
Masalah Kontrol: Kenapa AGI Nggak Bisa Dibiarkan Tanpa Pagar
Kalau AGI datang lebih cepat dari yang kita kira, pertanyaan berikutnya: siapa yang ngontrol?
Saat ini, arah perkembangan AI masih dikuasai segelintir laboratorium Big Tech. Mereka punya GPU miliaran dolar, tim riset kelas dunia, dan akses ke data dalam jumlah gila. Kalau satu entitas berhasil bikin AGI duluan, konsekuensinya besar:
- Risiko monopoli: AGI jadi senjata ekonomi dan politik paling ampuh, tapi hanya segelintir perusahaan/negara yang punya.
- Kotak hitam: algoritma AI makin sulit dipahami. Keputusan penting (misalnya, kredit, kesehatan, hukum) bisa diambil sistem yang kita nggak tahu logikanya.
- Keamanan: AGI bisa dipakai untuk serangan siber, propaganda, bahkan perang otonom.
Vitalik Buterin, co-founder Ethereum, sudah wanti-wanti soal ini. Katanya, manusia belum bisa dipercaya mengendalikan satu superintelligence terpusat. Solusinya? Pluralisme: jangan ada satu AGI, tapi banyak AGI dengan insentif saling mengawasi. Dan itu butuh infrastruktur desentralisasi.
Blockchain Sebagai Pagar
Di sinilah blockchain masuk bukan sebagai hype tambahan, tapi sebagai pagar digital. Ada beberapa alasan fundamental:
- Integritas data → anti manipulasi
Model AI sekuat apa pun akan ngawur kalau datanya busuk. Blockchain bisa jadi catatan permanen asal-usul data (provenance). Artinya, kita bisa tahu dataset dilatih dari mana, siapa pemiliknya, dan apakah sudah diverifikasi. - Audit trail → anti “kotak hitam”
Bayangkan setiap keputusan penting AGI dicatat on-chain: input, parameter, dan output bisa diaudit. Transparansi ini bikin regulator, masyarakat sipil, bahkan kompetitor bisa ngecek apakah sistem bekerja sesuai aturan. - Pasar komputasi & data terdesentralisasi → anti monopoli
Saat ini, training AI masih monopoli AWS, Google Cloud, Microsoft Azure. Blockchain membuka pasar terbuka: siapa pun dengan GPU idle bisa menyewakan (Render, Akash). Siapa pun bisa monetisasi data (Ocean Protocol, Filecoin). - Smart contract + agentic AI → organisasi otonom
AI yang makin cerdas bisa jadi “aktor ekonomi” on-chain: punya wallet, bayar komputasi, nego sama agen lain, bahkan jalankan strategi DeFi. Dengan smart contract, interaksi mereka bisa dibatasi oleh aturan yang transparan.
Narasi Kripto: Dari Token Spekulatif ke Infrastruktur Nyata
AI x Crypto bukan lagi cerita “token AI naik turun harga” hanya semata-mata karena narasi yang lagi booming, tapi sudah bicara infrastruktur strategis.
Beberapa contoh:
- Render Network (RNDR) → awalnya fokus rendering film 3D, sekarang jadi pasar GPU terdesentralisasi buat training/inference AI.
- Bittensor (TAO) → bikin jaringan peer-to-peer tempat model AI saling belajar dan dievaluasi. Bayangkan kayak “HuggingFace + Bitcoin mining”.
- Filecoin (FIL) → jadi solusi penyimpanan dataset skala besar.
- The Graph (GRT) → indexing data blockchain, tapi potensinya bisa jadi tulang punggung retrieval untuk AI agent.
- Internet Computer (ICP) → eksperimen hosting full-stack AI langsung di blockchain.
Dan yang paling eksplisit: ASI Alliance (gabungan SingularityNET, Fetch.ai, Ocean Protocol, CUDOS). Visi mereka jelas: bikin “penyeimbang” open-source terhadap laboratorium Big Tech.
Ekosistem Nyata: Blok Bangunan AGI Terdesentralisasi
Kita sering dengar istilah “AI x Crypto” dipakai sembarangan buat naikin harga token. Tapi kalau disaring, sekarang mulai kelihatan proyek-proyek infrastruktur yang serius. Mereka bukan sekadar bikin dApp AI lucu-lucuan, tapi benar-benar membangun tech stack alternatif yang bisa jadi pondasi AGI terdesentralisasi.
1. Lapisan Komputasi: Mesin Penggerak
- Render Network (RNDR)
Render awalnya dibuat buat rendering grafis 3D. Tapi sejak hype AI, mereka pivot jadi marketplace GPU. Bayangkan orang dengan RTX atau H100 idle bisa nyewain lewat protokol, diverifikasi dengan mekanisme Proof-of-Render. Hasilnya: biaya training AI lebih murah dibanding AWS. - CUDOS
Partner infrastruktur utama ASI Alliance. Menyediakan komputasi CPU/GPU dengan harga lebih kompetitif. Visi mereka: mendemokratisasi akses hardware kelas atas, bukan cuma buat raksasa teknologi.
2. Lapisan Kecerdasan: Pasar Model
- Bittensor (TAO)
Bittensor bikin pasar peer-to-peer buat model AI. Di dalamnya ada ratusan “subnet”, tiap subnet fokus ke skill spesifik: bahasa, gambar, audio, dll. Model yang performanya bagus divalidasi, dapat reward token TAO.
Analogi gampangnya: kayak “Bitcoin mining”, tapi yang ditambang bukan hash, melainkan kecerdasan.
3. Lapisan Data & Penyimpanan
- Filecoin (FIL) → jaringan penyimpanan terdesentralisasi, cocok buat simpan dataset AI masif.
- The Graph (GRT) → indexing data blockchain, jadi “mesin pencari” untuk dApps & AI agent.
- Ocean Protocol → tokenisasi aset data, memungkinkan data dijual/diakses tanpa hilang privasi.
4. Lapisan Aplikasi & Hosting
- Internet Computer (ICP) → eksperimen gila: jalankan aplikasi AI langsung on-chain, bukan sekadar lewat API.
- NEAR Protocol → fokus ke developer experience, integrasi AI buat otomatisasi pembuatan smart contract.
Studi Kasus: ASI Alliance
Aliansi ini hasil merger SingularityNET, Fetch.ai, Ocean Protocol, dan CUDOS. Visi mereka: bikin ekosistem open-source terbesar untuk riset dan pengembangan AGI/ASI.
- SingularityNET → riset AGI, dipimpin Ben Goertzel, dengan proyek OpenCog Hyperon.
- Fetch.ai (rebranding ke ASI layer) → fokus pada autonomous economic agents (AEA), software agent yang bisa transaksi sendiri.
- Ocean Protocol → marketplace data, penting untuk feeding model.
- CUDOS → penyedia komputasi.
Mereka juga menyatukan token (AGIX, FET, OCEAN → FET/ASI). Token dipakai untuk bayar komputasi, staking, sampai voting tata kelola.
Buat dunia kripto, ASI Alliance adalah taruhan berani: kalau Big Tech bikin AGI tertutup, kita lawan dengan AGI open-source yang dibangun di atas blockchain.
Kenapa Ini Penting Buat Indonesia?
- Akses GPU → startup lokal nggak perlu sewa server mahal ke AWS, bisa pakai pasar GPU terdesentralisasi.
- Monetisasi Data → data kesehatan, pendidikan, riset bisa ditokenisasi (dengan regulasi ketat), jadi nggak dimonopoli platform asing.
- Talenta → developer Indonesia bisa ikut mining intelligence di jaringan kayak Bittensor, bukan cuma jadi user.
Analisis Strategis: Siapa yang Menang dari Konvergensi AGI + Blockchain?
1. Investor
Buat investor, narasi AI terdesentralisasi adalah peluang frontier. Tapi perlu hati-hati bedain mana proyek beneran bangun infrastruktur, mana yang cuma jual token dengan branding “AI”.
- High conviction bets: RNDR, TAO, FIL, GRT, ICP, FET (ASI Alliance).
- Risiko utama: eksekusi teknis gagal, hype luntur, atau Big Tech buka API murah yang bikin solusi on-chain jadi kurang relevan.
2. Developer & Startup
Blockchain membuka jalan bagi developer yang nggak punya GPU miliaran dolar.
- Bisa build di atas pasar GPU (Render, Akash).
- Bisa jual dataset unik lewat Ocean/Filecoin.
- Bisa bikin agen otonom yang interaksi langsung di DeFi.
Ini penting buat Indonesia, karena developer lokal sering terbentur cost barrier. Dengan infrastruktur terbuka, mereka bisa masuk lebih cepat ke game global.
3. Pemerintah
Buat pemerintah, AI terdesentralisasi relevan karena dua hal:
- Sovereignty → nggak mau data warganya semua lari ke server asing.
- Transparency → AI yang bisa diaudit on-chain lebih mudah dipertanggungjawabkan.
Hong Kong sudah kasih contoh dengan kolaborasi HKGAI + FLock.io (federated learning untuk data sensitif). Kalau Asia Tenggara mau ikutan, ini blueprint yang bisa ditiru.
Penutup: Realisme di Tengah Euforia AGI
AGI bukan sekadar jargon konferensi. Dari survei ESPAI 2023 sampai prediksi komunitas Metaculus, timeline makin mepet: median akademisi di 2047, median proyeksi komunitas di 2031. Beberapa tokoh industri bahkan bicara hitungan 5 tahun.
Apakah realistis? Jawabannya: iya, tapi penuh ketidakpastian. Lompatan LLM sejak 2022 sudah nunjukin betapa cepat asumsi lama bisa runtuh. Dan kalau benar AGI tercapai, dampaknya lebih dari sekadar AI pintar: ini taruhan geopolitik, ekonomi, bahkan eksistensial.
Blockchain hadir sebagai pagar:
- Audit trail on-chain bikin AGI lebih transparan.
- Pasar GPU/data terdesentralisasi cegah monopoli Big Tech.
- DAO + smart contract jadi arena buat agen cerdas berinteraksi dalam aturan yang jelas.
Bottom line: entah AGI datang 2031, 2047, atau lebih lama, fondasi desentralisasi harus dibangun sekarang. Karena saat lonjakan itu tiba, sudah terlambat untuk bikin pagar pengaman dari nol.
Ringkasan AI & Crypto langsung ke inbox.
Informasi edukasi, bukan saran investasi. Risiko aset kripto tinggi. DYOR.