SUBSCRIBE

Masa Depan AI Dunia: Antara Warung GPU dan Mall Data Center

Kalau kamu sering nongkrong di warung kopi sambil buka laptop, pasti pernah ngalamin momen “waduh, colokan penuh semua”. Mau ngecas, tapi mesti nunggu orang lain cabut dulu.

Nah, kira-kira begitulah kondisi dunia komputasi sekarang. Semua orang rebutan colokan—eh maksudnya, rebutan GPU.

Big Tech kayak Google, Microsoft, atau Amazon punya “mall” data center gede-gede. Lampu terang, AC dingin, colokan melimpah. Sementara itu, komunitas open-source + crypto lagi ngebangun “warung-warung” kecil dengan colokan seadanya, tapi dekat, akrab, dan kadang malah lebih cepat dapet tempat duduk.

Pertanyaannya: masa depan AI bakal dikuasai mall raksasa, atau warung-warung ini?

AI = Mesin yang Lapar (Banget)

AI itu ibarat anak kos baru belajar masak mie instan: lapar setiap saat. Bedanya, kalau anak kos butuh panci + air panas, AI butuh compute power: GPU, TPU, chip khusus.

Tanpa itu? Ya cuma teori doang. Model besar kayak GPT, LLaMA, sampai video-AI terbaru, semuanya butuh “dapur” komputasi yang gila-gilaan.

Masalahnya, supply GPU sekarang kayak minyak goreng waktu pandemi: langka, mahal, dan sering diserbu orang.

Mall vs Warung: Dua Jalan

Mall Data Center (Big Tech):

  • GPU segunung, tapi aksesnya kayak antre visa ke Amerika.

  • Ada kenyamanan, ada keamanan, tapi harganya juga bikin dompet puasa.

  • Model bisnisnya: sewa. Kamu gak punya, cuma numpang.

Warung Compute (Decentralized):

  • Kecil-kecil tapi banyak. Orang bisa nyumbang GPU nganggur di rumah.

  • Transparan, dekat dengan komunitas.

  • Bayarnya pakai crypto → efisien, global, trustless.

  • Model bisnisnya: ownership economy. Kamu bukan cuma nyewa, tapi ikut punya sistemnya.

 

Dari Rumble ke Render

Kalau minggu lalu Rumble beli paket AI buat jadi lebih keren, itu contoh “mall style.” Dia pilih belanja di hypermarket AI.
Tapi ada juga proyek kayak Render Network, Akash, io.net, yang ngejalanin ide “warung GPU global.”

Bayangin Netflix, tapi isinya bukan film, melainkan compute power. Kamu bisa nyewa GPU di Ukraina, Singapura, atau Bandung, tinggal klik, langsung jalan.

Kenapa Crypto Bisa Nyelip di Sini?

Jawabannya simple: koordinasi + insentif.

Tanpa crypto, koordinasi ribuan GPU di seluruh dunia itu chaos. Dengan blockchain:

  • Ada marketplace terbuka buat supply-demand compute.

  • Pembayaran otomatis, trustless.

  • Semua bisa cek penggunaan dan performa secara transparan.

Dan ini nyambung ke debat klasik kita: AI bakal dimonopoli Big Tech, atau bakal jadi milik komunitas? Crypto bikin kemungkinan kedua itu jadi masuk akal.

Masa Depan: Hybrid?

Realitanya, mungkin nggak ada pemenang tunggal. Ada yang tetap belanja di mall karena butuh kenyamanan, ada juga yang lebih suka warung karena fleksibilitas.

Tapi kalau sejarah internet jadi patokan: dulu semua orang pikir portal besar (Yahoo, AOL) yang bakal menang. Nyatanya, justru ekosistem terbuka (blog, forum, media sosial, open-source) yang bikin internet meledak. AI bisa aja ngulang cerita sama.

Decentralized compute bukan sekadar jargon, ini bisa jadi fondasi baru: AI yang gak cuma milik segelintir perusahaan, tapi juga komunitas global.

Dan kalau itu kejadian, mungkin nanti nge-train AI gak lagi butuh colokan di mall. Cukup mampir ke warung terdekat—asal jangan pas jam makan siang, soalnya pasti rame.

 

 

Disclaimer: Artikel ini disusun untuk tujuan informasional dan edukasi semata. Semua informasi, data, dan pendapat yang disajikan berasal dari sumber yang dianggap dapat dipercaya pada saat penulisan. Artikel ini bukan merupakan ajakan atau saran untuk membeli, menjual, atau memegang aset kripto maupun instrumen investasi lainnya. Pasar aset kripto memiliki risiko tinggi, termasuk risiko kehilangan seluruh modal. Pembaca disarankan untuk melakukan riset mandiri (DYOR — Do Your Own Research) dan/atau berkonsultasi dengan penasihat keuangan independen sebelum mengambil keputusan investasi.